A.
Pengenalan Wayang Kulit
Sumber |
Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang
yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik
gamelan
yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden.
Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang
terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau
lampu minyak (blencong),
sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat
bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki
pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.
Secara umum wayang mengambil cerita
dari naskah Mahabharata dan Ramayana,
tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon
carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.
Pertunjukan wayang kulit telah
diakui oleh UNESCO
pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam
bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece
of Oral and Intangible Heritage of Humanity ). Wayang kulit
lebih populer di Jawa
bagian tengah dan timur, sedangkan wayang golek
lebih sering dimainkan di Jawa Barat.
B.
Asal-Usul
Wayang Kulit
Mengenai
asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang
berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat
ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa
Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara
para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats,
Rentse, dan Kruyt.
Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.
Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi India, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawayang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.
Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehistoric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indonesia halaman 987.
Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewayangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.
Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah ceritacerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.
Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi India, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawayang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.
Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehistoric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indonesia halaman 987.
Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewayangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.
Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah ceritacerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Masuknya agama
Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya
wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad
ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk
khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.
Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.
Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.
Dan di wilayah Kulonprogo sendiri wayang masih sangatlah diminati oleh semua kalangan. Bukan hanya oleh orang tua saja, tapi juga anak remaja bahkan anak kecil juga telah biasa melihat pertunjukan wayang. Disamping itu wayang juga biasa di gunakan dalam acara-acara tertentu di daerah kulonprogo ini, baik di wilayah kota Wates ataupun di daerah pelosok di Kulonprogo.
Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.
Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.
Dan di wilayah Kulonprogo sendiri wayang masih sangatlah diminati oleh semua kalangan. Bukan hanya oleh orang tua saja, tapi juga anak remaja bahkan anak kecil juga telah biasa melihat pertunjukan wayang. Disamping itu wayang juga biasa di gunakan dalam acara-acara tertentu di daerah kulonprogo ini, baik di wilayah kota Wates ataupun di daerah pelosok di Kulonprogo.
C.
Periodisasi
Periodisasi perkembangan budaya wayang juga merupakan bahasa yang menarik. Bermula zaman kuno ketika nenek moyang bangsa Indonesia masih menganut animisme dan dinamisme. Dalam kepercayaan animisme dan dinamisme ini diyakini roh orang yang sudah meninggal masih tetap hidup, dan semua benda itu bernyawa serta memiliki kekuatan. Roh-roh itu bisa bersemayam di kayu-kayu besar, batu, sungai, gunung dan lain-lain. Paduan dari animisme dan dinamisme ini menempatkan roh nenek moyang yang dulunya berkuasa, tetap mempunyai kuasa. Mereka terus dipuja dan dimintai pertolongan. Untuk memuja roh nenek moyang ini, selain melakukan ritual tertentu mereka mewujudkannya dalam bentuk gambar dan patung Roh nenek moyang yang dipuja ini disebut "hyang" atau "dahyang".
Orang bisa berhubungan dengan para hyang ini untuk minta pertolongan dan perlindungan, melalui seorang medium yang disebut ‘syaman’. Ritual pemujaan nenek moyang, hyang dan syaman inilah yang merupakan asal mula pertunjukan wayang. Hyang menjadi wayang, ritual kepercayaan itu menjadi jalannya pentas dan syaman menjadi dalang. Sedangkan ceritanya adalah petualangan dan pengalaman nenek moyang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Asli yang hingga sekarang masih dipakai. Jadi, wayang itu berasal dari ritual kepercayaan nenek moyang bangsa Indonesia di sekitar tahun l500 SM.
Berasal dari zaman animisme, wayang terus mengikuti perjalanan sejarah bangsa sampai pada masuknya agama Hindu di Indonesia sekitar abad keenam. Bangsa Indonesia mulai berseniuhan dengan peradaban tinggi dan berhasil membangun kerajaan-kerajaan seperti Kutai, Tarumanegara, bahkan Sriwijaya yang besar dan jaya. Pada masa itu wayang pun berkembang pesat, mendapat pondasi yang kokoh sebagai suatu karya seni yang bermutu tinggi.
Pertunjukan roh nenek moyang itu kemudian dikembangkan dengan cerita yang lebih berbobot, Ramayana dan Mahabarata. Selama abad X hingga XV, wayang berkembang dalam rangka ritual agama dan pendidikan kepada masyarakat. Pada masa ini telah mulai ditulis berbagai cerita tentang wayang. Semasa kerajaan Kediri, Singasari dan Majapahit kepustakaan wayang mencapai puncaknya seperti tercatat pada prasasti di candi-candi, karya sastra yang ditulis oleh Empu Sendok, Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Tantular dan lain-lain. Karya sastra wayang yang terkenal dari zaman Hindu itu antara lain Baratayuda, Arjuna Wiwaha, Sudamala, sedangkan pergelaran wayang sudah bagus, diperkaya lagi dengan penciptaan peraga wayang terbuat dari kulit yang dipahat, diiringi gamelan dalam tatanan pentas yang bagus dengan cerita Ramayana dan Mahabarata. Pergelaran wayang mencapai mutu seni yang tinggi sampai sampai digambarkan "Hannonton ringgit menangis esekel", tontonan wayang sangat mengharukan.
D.
Pembuatan
Wayang Kulit
Wayang
kulit dibuat dari bahan kulit kerbau yang sudah diproses menjadi kulit
lembaran, perbuah wayang membutuhkan sekitar ukuran 50 x 30 cm kulit lembaran
yang kemudian dipahat dengan peralatan yang digunakan adalah besi berujung
runcing berbahan dari baja yang berkualitas baik. Besi baja ini dibuat terlebih
dahulu dalam berbagai bentuk dan ukuran, ada yang runcing, pipih, kecil, besar
dan bentuk lainnya yang masing-masing mempunyai fungsinya berbeda-beda.
Namun
pada dasarnya, untuk menata atau membuat berbagai bentuk lubang ukiran yang
sengaja dibuat hingga berlubang. Selanjutnya dilakukan pemasangan bagian-bagian
tubuh seperti tangan, pada tangan ada dua sambungan, lengan bagian atas dan
siku, cara menyambungnya dengan sekrup kecil yang terbuat dari tanduk kerbau
atau sapi. Tangkai yang fungsinya untuk menggerak bagian lengan yang berwarna
kehitaman juga terbuat berasal dari bahan tanduk kerbau dan warna keemasannya
umumnya dengan menggunakan prada yaitu kertas warna emas yang ditempel atau
bisa juga dengan dibron, dicat dengan bubuk yang dicairkan. Wayang yang
menggunakan prada, hasilnya jauh lebih baik, warnanya bisa tahan lebih lama
dibandingkan dengan yang bront.
E. Jenis Wayang Kulit
Jenis-jenis wayang kulit berdasarkan daerahnya :
- Wayang Kulit Cengkok Kedu
- Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta
- Wayang Kulit Gagrag Surakarta
- Wayang Kulit Gagrag Banyumasan
- Wayang Kulit Gagrag Jawa Timuran
- Wayang Bali
- Wayang Kulit Banjar (Kalimantan Selatan)
- Wayang Palembang (Sumatera Selatan)
- Wayang Betawi (Jakarta)
- Wayang Kulit Cirebon (Jawa Barat)
- Wayang Madura (sudah punah)
- Wayang Siam
F. Dalang Wayang Kulit
Dalang
adalah bagian terpenting dalam pertunjukan wayang kulit (wayang purwa). Dalam
terminologi bahasa jawa, dalang (halang) berasal dari akronim ngudhal
Piwulang. Ngudhal artinya membongkar atau menyebar luaskan dan piwulang
artinya ajaran, pendidikan, ilmu, informasi. Jadi keberadaan dalang dalam
pertunjukan wayang kulit bukan saja pada aspek tontonan (hiburan)
semata, tetapi juga tuntunan. Oleh karena itu, disamping menguasai
teknik pedalangan sebagai aspek hiburan, dalang haruslah seorang yang
berpengetahuan luas dan mampu memberikan pengaruh.
Dalang-dalang
wayang kulit yang mencapai puncak kejayaan dan melegenda antara lain almarhum
Ki Tristuti Rachmadi (Solo), almarhum Ki Narto Sabdo (Semarang, gaya Solo),
almarhum Ki Surono (Banjarnegara, gaya Banyumas), almarhum Ki Timbul Hadi
Prayitno (Yogya), almarhum Ki Hadi Sugito (Kulonprogo, Jogjakarta),Ki Soeparman
(gaya Yogya), Ki Anom Suroto (gaya Solo), Ki Manteb Sudarsono (gaya Solo), Ki Enthus
Susmono, Ki Agus Wiranto, almarhum Ki Suleman (gaya Jawa Timur).
Sedangkan Pesinden yang legendaris adalah almarhumah Nyi Tjondrolukito.
G.
Pertunjukam Wayang Kulit
Pagelaran
wayang kulit dimainkan oleh seorang yang kiranya bisa disebut penghibur publik
terhebat di dunia. Bagaimana tidak, selama semalam suntuk, sang dalang
memainkan seluruh karakter aktor wayang kulit yang merupakan orang-orangan
berbahan kulit kerbau dengan dihias motif hasil kerajinan tatah sungging (ukir
kulit). Ia harus mengubah karakter suara, berganti intonasi, mengeluarkan
guyonan dan bahkan menyanyi. Untuk menghidupkan suasana, dalang dibantu oleh
musisi yang memainkan gamelan dan para sinden yang menyanyikan lagu-lagu Jawa.
Tokoh-tokoh
dalam wayang keseluruhannya berjumlah ratusan. Orang-orangan yang sedang tak
dimainkan diletakkan dalam batang pisang yang ada di dekat sang dalang. Saat
dimainkan, orang-orangan akan tampak sebagai bayangan di layar putih yang ada
di depan sang dalang. Bayangan itu bisa tercipta karena setiap pertunjukan
wayang memakai lampu minyak sebagai pencahayaan yang membantu pemantulan
orang-orangan yang sedang dimainkan.
Setiap
pagelaran wayang menghadirkan kisah atau lakon yang berbeda. Ragam lakon
terbagi menjadi 4 kategori yaitu lakon pakem, lakon carangan, lakon gubahan dan
lakon karangan. Lakon pakem memiliki cerita yang seluruhnya bersumber pada
perpustakaan wayang sedangkan pada lakon carangan hanya garis besarnya saja
yang bersumber pada perpustakaan wayang. Lakon gubahan tidak bersumber pada
cerita pewayangan tetapi memakai tempat-tempat yang sesuai pada perpustakaan
wayang, sedangkan lakon karangan sepenuhnya bersifat lepas.
Cerita
wayang bersumber pada beberapa kitab tua misalnya Ramayana, Mahabharata,
Pustaka Raja Purwa dan Purwakanda. Kini, juga terdapat buku-buku yang memuat
lakon gubahan dan karangan yang selama ratusan tahun telah disukai masyarakat
Abimanyu kerem, Doraweca, Suryatmaja Maling dan sebagainya. Diantara semua
kitab tua yang dipakai, Kitab Purwakanda adalah yang paling sering digunakan
oleh dalang-dalang dari Kraton Yogyakarta. Pagelaran wayang kulit dimulai
ketika sang dalang telah mengeluarkan gunungan. Sebuah pagelaran wayang semalam
suntuk gaya Yogyakarta dibagi dalam 3 babak yang memiliki 7 jejeran (adegan)
dan 7 adegan perang. Babak pertama, disebut pathet lasem, memiliki 3 jejeran
dan 2 adegan perang yang diiringi gending-gending pathet lasem. Pathet Sanga
yang menjadi babak kedua memiliki 2 jejeran dan 2 adegan perang, sementara
Pathet Manura yang menjadi babak ketiga mempunyai 2 jejeran dan 3 adegan
perang. Salah satu bagian yang paling dinanti banyak orang pada setiap pagelaran
wayang adalah gara-gara yang menyajikan guyonan-guyonan khas Jawa.
Sasono
Hinggil yang terletak di utara alun-Alun Selatan adalah tempat yang paling
sering menggelar acara pementasan wayang semalam suntuk, biasanya diadakan
setiap minggu kedua dan keempat mulai pukul 21.00 WIB. Tempat lainnya adalah
Bangsal Sri Maganti yang terletak di Kraton Yogyakarta. Wayang Kulit di bangsal
tersebut dipentaskan selama 2 jam mulai pukul 10.00 WIB setiap hari Sabtu.
Warna
rias wajah pada wayang kulit mempunyai arti simbolis, akan tetapi tidak ada
ketentuan umum. Warna rias merah untuk wajah misalnya, sebagian besar
menunjukkan sifat angkara murka, akan tetapi tokoh Setyaki yang memiliki warna
rias muka merah bukanlah tokoh angkara murka. Jadi karakter wayang tidaklah ditentukan
oleh warna rias muka saja, tetapi juga ditentukan oleh unsur lain, seperti
misalnya bentuk (patron) wayang itu sendiri. Tokoh Arjuna, baik yang mempunyai
warna muka hitam maupun kuning, adalah tetap Arjuna dengan sifat-sifatnya yang
telah kita kenal. Perbedaan warna muka seperti ini hanya untuk membedakan ruang
dan waktu pemunculannya. Arjuna dengan warna muka kuning dipentaskan untuk
adegan di dalam kraton, sedangkan Arjuna dengan warna muka hitam menunjukkan
bahwa dia sedang dalam perjalanan. Demikian pula halnya dengan tokoh Gatotkaca,
Kresna, Werkudara dan lain-lain.
Perbedaan
warna muka wayang ini tidak akan diketahui oleh penonton yang melihat
pertunjukan dari belakang layar. Alat penerangan yang dipakai dalam pertunjukan
wayang kulit dari dahulu sampai sekarang telah banyak mengalami perubahan
sesuai dengan perkembangan teknologi. Dalam bentuk aslinya alat penerangan yang
dipakai pada pertunjukan wayang kulit adalah blencong, kemudian berkembang
menjadi lampu minyak tanah (keceran), petromak, sekarang banyak yang
menggunakan lampu listrik.
H.
Fungsi Wayang Kulit
Wayang
mempunyai banyak peranan penting dalam kehidupan. Secara umum banyak fungsi
dari kesenian wayang, diantaranya adalah :
1.
Media informasi yang efektif dan komunikatif.
Sebagai
kesenian tradisional yang kaya akan makna serta sumber informasi, wayang ini
merupakan media yang sangat efektif dan komunikatif untuk menyampaikan pesan
nilai – nilai serta filosofis hidup bagi masyarakat.
2.
Media hiburan bagi masyarakat
Biasanya
wayang menjadi hiburan bagi masyarakat. Pertunjukan wayang digelar dalam
berbagai acara seperti acara hajatan pernikahan, mreti dheso, dan lain
sebagainya. Selain itu, pagelaran wayang juga digelar semalam suntuk dengan
cerita – cerita pewayangan yang terkadang disesuaikan dengan situasi pada acara
tersebut.
3.
Media pendidikan
Jika kita
amati bentuk-bentuk wayang maka akan kita temukan bentuk-bentuk yang beraneka
ragam, misalnya seperti penggambaran dari tokoh ksatria seperti Arjuna dan Puntadewa
mereka digambarkan dengan paras wajah yang tampan dan dengan muka yang menunduk
dalam falsafahnya mereka merupakan pencintraan diri manusia yang mempunyai
kehalusan budi pekerti dan selalu rendah hati.
Wayang yang
digambarkan dengan paras buruk (wujud buto) mereka digambarkan sebagai seorang
yang suka menebar angkara murka, sombong, dan tidak mempunyai sifat sabar.
Penataan dalam wayang juga mengandung maksud tertentu, wayang yang ditata pada
sisi kanan merupakan wayang golongan baik, sebaliknya wayang yang ditata pada
sisi kiri merupakan wayang golongan buruk / jahat (taufiknova.blogspot.com).
Pemanfaatan
wayang sebagai sarana pembelajaran bagi anak kini telah menjadi alternatif yang
efektif bagi tersampaikannya pesan pembelajaran. Segala gambaran yang telah
dipaparkan dalam kisah – kisah wayang dapat memberikan gambaran sifat – sifat,
watak serta perilaku sosial manusia di kehidupan dimana ada yang baik dan ada
yang buruk.
Sebagai
pendidik, wayang sebagai media pembelajaran tidak harus ditampilkan dalam
sebuah pagelaran dalam setiap materi pelajaran. Tetapi dapat memasukkan unsur –
unsur yang terkandung dalam cerita – cerita pewayangan. Misalnya, dalam
pembelajaran budi pekerti kita dapat meneladani tokoh wayang yaitu Bima atau
Bratasena. Bima mempunyai sifat – sifat sangat setia, kalau sudah menjadi tekad
yang bulat maka siapa saja tidak bisa menghentikan semangatnya.
Orang
Jawa sendiri pun mengenal Bima sebagai tokoh satria pinandhita,
profesional religious, pekerja sufistik, dan panglima perang sekaligus guru
besar (Purwadi, 2007).
Itulah
gambaran salah satu tokoh yang dapat kita teladani sifatnya sebagai bahan
pembelajaran bagi peserta didik untuk menanamkan budi pekerti dibenaknya. Masih
banyak lagi tokoh – tokoh lain yang ada dalam pewayangan dengan sifat dan watak
yang bermacam – macam seperti halnya manusia.
I.
Kesimpulan
Wayang
kulit adalah kesenian indonesia khas Jawa yang dipertunjukkan lewat sebuah
layar yang disoroti oleh lampu, dimainkan oleh seorang dalang, dan cara
melihatnya melalui bayang – bayangnya. Kebudayaan wayang diyakini telah lahir
sejak 1500 tahun sebelum masehi. Fungsi dari wayang sendiri sangat sentral,
yaitu sebagai media informasi, hiburan, pendidikan, dan bahkan wayang juga berperan
dalam penyebaran agama islam pada masa wali songo yang disebarkan oleh sunan
kali jaga. Tokoh-tokoh dalam wayang keseluruhannya berjumlah ratusan dan
setiap pertunjukannya selalu menampilkan lakon atau cerita yang berbeda. Dalam
pertunjukan wayang banyak nilai – nilai moral dan pendidikan yang disisipkan
dalang, sebagai pembelajaran bagi penonton.
Sayangnya,
seiring perkembangan zaman yang semakin modern, banyak generasi muda yang lebih
menyukai budaya luar yang lebih modern, dari pada budaya wayang kulit yang
terlihat kuno. Oleh karena itu, agar kebudayaan wayang kulit ini tidak
menghilang dimakan zaman maka sudah sepatutnya kita tanamkan rasa cinta pada
kebudayaan wayang kulit dan turut serta melestarikannya J
J.
Sumber
No comments:
Post a Comment
Ada komentar? Silakan tulis dengan sopan ya.. Terimakasih ☺